Minggu, 21 Agustus 2011

Contact

Arif Nuryanto alias Arif Bagoes 
ariefbagos@gmail.com

Rabu, 16 Februari 2011

Ketika Terjadi Kerugian Usaha dalam Mudharabah


Sejak zaman dahulu, dalam dunia bisnis, manusia telah mengenal dua hal yang saling berlawanan, yaitu keuntungan dan kerugian. Kedua hal ini senantiasa ada dalam dunia bisnis, dan tidak mungkin dapat dipisahkan. Walau manusia telah berhasil mencapai berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi mereka tetap saja tidak mampu menemukan cara untuk memisahkan antara keduanya. Ini semua dikarenakan keuntungan dan kerugian dalam perniagaan memiliki banyak sebab, mulai dari faktor yang datang dari kejadian alam seperti misalnya bencana alam, hingga berbagai hal yang berkenaan dengan kesalahan pelaku usaha. Oleh karena itu, setiap orang yang hendak menggeluti dunia bisnis, harus telah menyiapkan mental dan strategi guna menghadapi salah satu dari dua hal tersebut.
Karena agama Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah Allah Ta'ala yang telah diturunkan ke bumi ini, maka kedua hal ini senantiasa mendapatkan perhatian. Para ulama menggambarkan perhatian Islam terhadap dua hal ini dalam sebuah kaidah,
الغنم بالغرم
"Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian".
Atau dalam ungkapan lain sering juga disebut,
الخراج بالضمان
"Penghasilan/kegunaan adalah imbalan atas kesiapan menanggung jaminan."
Maksud kaidah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu terjadi-. Kaidah ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم: (الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ). رواه أحمد وأبو داود والترمذي والنسائي وحسنه الألباني
"Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata, 'Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?' Maka, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.'" (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzy, an-Nasai dan dihasankan oleh al-Albani).
Abu Ubaid menjelaskan maksud hadits ini dengan berkata, "Yang dimaksud dengan keuntungan pada hadits ini adalah hasil pekerjaan budak tersebut yang telah dibeli oleh pembeli, kemudian ia pekerjakan beberapa waktu. Setelah ia mempekerjakannya, ia menemukan cacat yang sengaja ditutup-tutupi oleh penjual, sehingga pembelipun mengembalikan budak tersebut dan pembeli berhak mengambil uang pembayarannya dengan utuh. Dengan demikian, ia telah mendapat keuntungan berupa seluruh hasil pekerjaan budak tersebut (selama ada di tangannya -ed). Hal ini dikarenakan budak tersebut -sebelum dikembalikan- merupakan tanggung jawab pembeli. Seandainya budak tersebut mati, maka budak itu dihitung dari hartanya (ia yang menanggung kerugiannya)."
Seusai menyebutkan ucapan Abu Ubaid di atas, as-Suyuthi berkata, “Para ahli fikih juga menyatakan demikian. Makna hadits tersebut ialah segala yang dihasilkan oleh suatu hal, baik berupa penghasilan, manfaat, atau suatu benda, maka itu adalah milik pembeli sebagai imbalan atas tanggung jawabnya sebagai pemilik. Karena, andaikata barang yang telah ia beli tersebut mengalami kerusakan, maka kerusakan itu tanggung jawabnya. Oleh karenanya hasilnya pun menjadi miliknya, agar benar-benar keuntungan menjadi pengganti atas kerugian." (Baca al-Asybah wa an-Nazhair oleh as-Suyuthi hal. 136. Baca juga al-Mantsur Fi al-Qawaidh oleh az-Zarkasyi 1/328, Aun al-Ma'bud oleh al-Azhim al-Abadi 8/3 dan Tuhfaz al-Ahwazi oleh al-Mubarakfuri 3/397).
Demikianlah semestinya peniagaan dijalankan, yaitu setiap orang yang berniaga mencari keuntungan, maka dia harus siap menanggung kerugian yang mungkin terjadi. Bila seorang pedagang berupaya untuk melepaskan diri dari tanggung jawab atas kerugian yang mungkin terjadi, maka upaya tersebut sudah dapat dipastikan terlarang.
Bila kita mencermati berbagai bentuk transaksi riba, niscaya kita dapatkan bahwa para pemakan riba nyata-nyata melanggar kaidah ini. Seorang rentenir hanya ingin menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya, sedangkan ia tidak sedikitpun sudi untuk menanggung kerugian. Bahkan, ia ingin tetap mendapatkan keuntungan (bunga) walaupun nasabah mengalami kerugian.
Dan dikarenakan mudharabah adalah salah satu bentuk perniagaan, maka kaidah inipun berlaku padanya. Oleh karena itu para ulama menjelaskan bahwa kerugian yang berkaitan dengan modal (materi) menjadi tanggung jawab pemodal, sedangkan kerugian non-materi, (skiil/tenaga) menjadi tanggung jawab pengusaha.
Andai pemodal mensyaratkan agar pengusaha menjamin modalnya, sehingga bila terjadi kerugian modal dikembalikan utuh, maka persyaratan adalah persyaratan yang tidak sah (Baca Badaa'i ash-Shanaa'ii oleh al-Kasani al-Hanafy 5/119, al-Mughni oleh Ibnu Qudaamah 7/176, Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami oleh Dr. Sa'ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hal. 291).
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri

Perbandingan Antara Mudharabah dengan Riba


Sekilas, perniagaan (mudharabah) menyerupai riba, karena masing-masing pemilik uang pada kedua transaksi ini menyerahkan uang kepada orang lain, dan kemudian menerima kembalian yang lebih banyak. Akan tetapi, hukumnya sangat berbeda, mudharabah hukumnya halal, sedangkan riba adalah haram.
قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا. البقرة :275
"Mereka berkata, sesungguhnya perniagaan itu serupa dengan riba, dan Allah telah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba." (Qs. al-Baqarah: 275).
Telah ditegaskan oleh banyak ulama, bahwa tidaklah Allah Ta'ala dan Rasul-Nya membedakan antara dua hal yang sekilas nampak sama, melainkan antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasarinya. Sebagaimana tidaklah syariat menyamakan antara dua hal, melainkan antara keduanya terdapat persamaan yang mendasarinya (baca Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah, 20/504 dan seterusnya, I'ilamul Muwaqi'in oleh Ibnul Qayyim 2/3 dan seterusnya, dan al-Ma'dul Bihi 'Anil Qiyaas oleh Dr. Umar bin Abdul Aziz).
Dan bila kita berusaha mencari perbedaan nyata yang mendasari perbedaan hukum antara riba dan mudharabah, niscaya kita akan mendapatkan bahwa kaidah ini merupakan salah satu perbedaan utama antara keduanya.
Seorang pemakan riba berusaha mengeruk keuntungan, akan tetapi ia tidak sudi menanggung kerugian. Oleh karena itu, ia menuntut agar modal yang ia keluarkan kembali utuh dan ditambah lagi dengan bunganya, tanpa peduli dengan kerugian dan kesulitan yang menimpa penerima piutang. Tatkala masyarakat di negeri kita telah banyak yang menyadari akan keharaman riba, dan bahwa dosanya ditanggung oleh penerima dan pemberi secara bersamaan, sebagian pemakan riba berusaha mengelabui mereka dengan cara mengubah nama bunga menjadi bagi hasil (mudharabah). Sehingga yang terjadi bila dari usaha berhasil diperoleh keuntungan, maka pemodal berhak menerima modal secara utuh ditambah bagi hasil (baca: bunga). Akan tetapi bila terjadi kerugian, maka pemodal  berhak menerima modal yang telah ia berikan secara utuh, tanpa disertai dengan bagian hasil (bunga).
Bila kaidah yang telah kita jelaskan di atas kita terapkan pada transaksi ini, niscaya akan menjadi jelas bahwa ini adalah transaksi riba, karena pemodal tidak siap untuk ikut andil dalam menanggung kerugian. Ditambah lagi hakikat riba, yaitu sebagai tindak kezhaliman benar-benar terwujud pada transaksi ini. Hal itu dikarenakan, pengusaha (penerima modal) selain tidak mendapat keuntungan, dan jerih payahnya merugi sehingga seluruh kucuran keringatnya tidak mendatangkan hasil, ia masih harus mengembalikan modal secara utuh kepada pemodal.
Pada tabel berikut ini, kami akan coba paparkan perbedaan antara akad piutang dengan akad bagi hasil (mudharabah):
Tabel Perbedaan Akad Piutang dengan Akad Bagi Hasil

No Akad Piutang Akad Bagi Hasil (Mudharabah)
1 Uang sepenuhnya menjadi milik penghutang (debitur), sehingga ia memiliki hak penuh untuk menggunakan uang tersebut sesuai dengan yang ia kehendaki. Baik dibelanjakan, dihibahkan, dihutangkan atau ditabungkan (dibekukan). Kreditur bukan sebagai pemilik saham, hal ini sebagaimana yang kita dapatkan diberbagai perbankan yang ada di masyarakat. Uang/modal sepenuhnya adalah milik pemodal. Pengusaha berkewajiban untuk menjaganya dan menggunakannya dalam usaha yang telah disepakati. Ia tidak dibenarkan untuk menghibahkan, menghutangkan atau membekukan (menabungkan) uang itu. Dengan demikian, perusahaan (atau saham perusahaan) milik pemodal, sedangkan pelaku usaha hanya berhak mendapatkan bagian dari keuntungan saja. (Pemilik modal adalah para pemilik saham perusahaan/bank).
2 Pemberi piutang (kreditur) tidak dibenarkan untuk ikut campur dalam pengelolaan uang yang telah ia piutangkan. Pemilik modal dibenarkan untuk mengawasi pemakaian modal yang ia berikan kepada pelaku usaha. Apabila pelaku usaha menyelisihi kesepakatan, maka pemilik modal berhak menghentikan perjanjian.
3 Bila debitur mengizinkan pada kreditur untuk mengelola uang tersebut, maka pada keadaan ini kreditur berstatus sebagai pegawai. Pemilik modal diizinkan untuk ikut serta mengelola modalnya, dan statusnya tidak pernah berubah, yaitu sebagai pemilik modal.
4 Debitur berkewajiban untuk mengembalikan uang piutang dengan utuh pada tempo yang telah disepakati, walaupun uang tersebut hilang dicuri orang, tanpa peduli sedikit pun apakah ada kesalahan yang dilakukan oleh penghutang dalam merawat/menyimpan atau tidak. Pengusaha tidak berkewajiban untuk mengembalikan modal bila uang hilang misalnya jika uang dicuri orang, dengan catatan tidak ada kesalahan dari pengusaha dalam merawat/menyimpan modal tersebut.
5 Bila debitur menggunakan uang piutangnya untuk usaha kemudian terjadi kerugian, maka seluruh kerugian sepenuhnya menjadi tanggung jawab debitur. Adapun kreditur tidak berkewajiban untuk ikut menanggung kerugian sedikitpun dan dalam bentuk apapun. Bila pengusaha merugi dalam usahanya, maka pemodal harus ikut menanggung kerugian tersebut. Pemodal menanggung seluruh kerugian finansial, sedangkan pengusaha menanggung kerugian tenaga dan seluruh jerih payahnya (non-finansial).
6 Bila debitur menggunakan uang itu untuk usaha dan ia beruntung, maka keuntungan sepenuhnya menjadi milik debitur. Bila dari modal, pengusaha mendapatkan keuntungan, maka keuntungan menjadi milik bersama; pemodal dan pengusaha sesuai dengan perjanjian.
7 Kreditur diharamkan untuk mensyaratkan keuntungan apapun dari piutang yang ia berikan. Pemodal dihalalkan untuk mensyaratkan keuntungan dari  modal yang ia berikan kepada pengusaha.
8 Bila telah jatuh tempo dan debitur dalam keadaan kesusahan, maka pemilik uang diwajibkan untuk menunda tagihan, dan status akad hutang piutang tetap seperti sedia kala. Bila telah jatuh tempo, usaha yang dijalankan oleh pengusaha merugi, maka pemilik modal dibenarkan untuk menarik seluruh modalnya, dengan ketentuan akad mudharabah antara mereka terputus (selesai).
9 Riba pada piutang senantiasa menyesuaikan dengan jumlah besarnya piutang dan tempo pembayaran, tanpa perduli akan apa yang didapatkan oleh kreditur. Bagi hasil benar-benar sesuai dengan keuntungan bersih yang berhasil didapatkan oleh pelaku usaha. Bahkan bila terjadi kerugian, maka dana pemodal dapat berkurang atau bahkan mungkin saja hangus.

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri

RUH AKAL DAN JAZAD

Manusia adalah maklhuk yang sempurna di antara semua maklhuk ciptaan Allah lantaran manusia di beri akal pikiran, inilah yang membuat manusia ini begitu sempurna. Bangsa jin dan setan diberi akal pikiran namun tidak sesempurna kita, tapi mereka di beri kelebihan di dalam jasad nya, jasad mereka lepas dari ruang dan waktu sedangkan kita manusia memiliki kelebihan akal pikiran yang sempurna bahkan akal pikiran nya mampu menembus ruang dan waktu, namun jasad manusia tidak mampu untuk menembus ruang dan waktu. Tumbuhan dan hewan, mereka tidak diberi akal pikiran dan jasad yang mampu menembus ruang dan waktu tersebut namun mereka di beri kelebihan ruh, ruh itu suci dan selama nya suci.tumbuhan dan hewan bergerak berdasarkan insting mereka karena ruh nya yang suci dan mereka mampu merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah SWT. Oleh sebab itu tumbuhan dan hewan tidak mempunyai dosa lantaran kesucian ruh tersebut, andaikata hewan membunuh hewan lain bahkan membunuh manusia,mereka tetap tidak berdosa karena mereka hanya mengikuti insting hewani mereka begitu juga dengan tumbuhan.


Di antara ketiga (Ruh, Akal dan Jasad) yang paling kuat adalah ruh kemudian akal pikiran baru yg terakhir jasad. Lalu yang jadi pertannyaan, kalau memang Ruh yang lebih kuat kenapa manusia yang memiliki kelebihan akal pikiran menjadi maklhuk yang sempurna?.jawabanya mudah saja, dengan akal pikiran kita mampu mengendalikan ruh dan jasad. Hal ini sudah terbukti secara ilmiah dan logis. Dalam ajaran Psikologi di ajarkan bagaimana cara mengoptimal kan akal pikiran manusia, sehingga manusia mampu menggunakan Hipnosis, Telephati dan sebagai nya, hal itu bisa terjadi karena akal pikiran kita sudah bertemu dan berkomunikasi dengan ruh dan jasad kita. Dalam ajaran Islam di masa Nabi Adam As, sebenarnya sudah di ajarkan cara untuk mengoptimal kan akal pikiran. Semua orang-orang pilihan Allah seperti Rasul, Nabi, Wali dan lain sebagainya, beliau sudah mampu mengendalikan ketiga-tiga nya. Contoh simple, Nabi Sulaiman As, beliau mampu berkomunikasi dengan hewan,tumbuhan dan juga jin. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?, karena Nabi Sulaiman As sudah mengendalikan ketiga hal tersebut (Ruh, Akal, dan Jasad). Beliau berkomunikasi dengan hewan dan tumbuhan menggunakan ruh, Karen Beliau sudah mempu mengendalikan Ruh dalam diri beliau sehingga masuk akal apabila ruh bertemu dengan ruh akan mampu berkomunikasi karena hewan dan tumbuhan di beri kelebihan Ruh oleh Allah seperti yang saya terangkan di atas. Begitu juga dengan jin, Nabi Sulaiman As menggunakan kemampuan jasad nya untuk berkomunikasi dengan jasad juga (jin). Dan masih banyak contoh-contoh lain seperti Nabi Sulaiman.
 
Hal ini membuktikan bahwa islam itu benar,lihat saja, mengendalikan ketiga kamampuan tersebut di dalam islam sudah diajarkan pada masa Nabi Adam As, sedangkan dunia ilmu pengetahuan mengajarkan kita akan mengendalikan 3 hal tersebut di mulai pada jaman perang dunia ke 2 di jaman nya Sigmund Freud (Pakar Psikoanalisa) dan ilmu itu mulai mendunia di jaman sekarang tahun 2010, lihat kan?! Ilmu islam lebih dulu ketimbang ilmu lain-lainnya.
Dengan akal pikiran kita mampu mengendalikan 2 kemampuan maklhuk lain (jin,hewan dan tumbuhan). Dengan akal pikiran kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang benar. Dengan akal pikiran kita bisa mencapai Allah jauh lebih cepat dari kecepatan cahaya bahkan lebih. Apapun bisa kita lakukan dengan akal pikiran kita,kalau kita mau mempelajarinya lebih jauh lagi. Hal ini lah yang membuat manusia menjadi maklhuk yang sempurna di anatara maklhuk lain ciptaan Allah.
Allah memberi kemampuan yang sempurna ke pada manusia berupa akal pikiran, namun banyak manusia yang salah jalan dengan akal pikiran nya. “ Dengan kemampuan yang besar disitu terletak tanggung jawab yang besar pula”. Memang benar akal pikiran kita mampu melakukan apapun dan tidak ada hal yang mustahil akan tetapi dengan akal pikiran kita juga bisa terjebak ke dalam kemaksiatan. Oleh sebab itu di butuh kan Ruh dan Jasad untuk mengatur keseimbangan akal pikiran kita agar kita semua tidak salah jalan.
Banyak sekali metode-metode untuk menseimbangkan ke 3 kemampuan itu. Dalam Psikologi 3 kemampuan tersebut menjadi Needs (Jasad),Ego(Akal Pikiran), dan Super Ego (Ruh). Ke 3 nya harus seimbang untuk menjadi manusia seutuh nya. Adapun metode islami, yaitu sholat. Kita terkadang meremehkan hakikat nya sholat dan kita sering menganggap sholat itu hanya kewajiban tanpa berfikir dulu “Untuk apa Sholat itu?”. Akan saya bahas nanti mengenai sholat. Metode-metode lain juga bagus akan tetapi metode islam ini adalah sortcut (jalan pintas) untuk menseimbangkan 3 hal tersebut.
 

RELEVANSI TASAWUF TERHADAP DUNIA MODERN


Oleh :
Aprilina Hartanti


RELEVANSI TASAWUF TERHADAP DUNIA MODERN
PENGERTIAN TASAWUF
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Dari segi Linguistik (kebahasan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakanya masing-masing selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisiokan sebagi upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
v PENGERTIAN MASYARAKAT MODERN
Masyarakat modern terdiri dari dua kata yaitu masyarakat dan modern. Dalam kamus bahasaUmum Bahasa Indonesia W.J.S Poerwardaminta mengartikan masyarakat sebagai pergaulan hidup manusia (himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu). Sedangkan modern di artikan yang terbaru, secara baru, mutakhir. Dengan demikian, secara harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir. Deliar Noer misalnya menyebutkan ciri-ciri modern sebagai berikut :
· Bersifat rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran, dari pada pendapat emosi, sebelum melakukan pekerjaan selalu dipertimbangkan lebih dahulu untuk ruginya, dan pekerjaan tersebut secara logika dipandang menguntungkan.
· Berfikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi selalu terlihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
· Menghargai waktu, yakni selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
· Bersikap terbuka, yakni mau menerima saran, masukan, baik berupa kritik, gagasan dan perbaikan dari manapun datangnya.
· Berfikir obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaanya bagi masyarakat.
v PROBLEMATIKA MASYARAKAT MODERN
Sikap hidup yang mengutamakan materi (materialistik) memperturutkan kesenangan dan kelezatan syahwat (hedonistik) ingin menguasai semua aspek kehidupan (totaliteristik) hanya percaya pada rumus – rumus pengetahuan empiris saja, serta paham hidup positivistis yang bertumpu pada kemampuan akal pikiran manusia tampak lebih menguasai manusia yang memegang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ditangan mereka yang berjiwa dan bermental demikian itu, ilmu pengetahuan dan teknologi modern memang sangat mengkhawatirkan. Mereka akan menjadi penyebab kerusakan di daratan dan di lautan sebagaimana di isyaratkan Al-Qur’an (Lihat QS.Al-Rum 30;41)
Dari sikap mental yang demikian itu kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan sejumlah problematika masyarakat modern sebagai berikut :
1. Desintegrasi Ilmu Pengetahuan
Kehidupan moden antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
2. Kepribadian yang terpecah (Split personality)
Karena kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering nilai-nilai spiritual dan berkotak-kotak itu, maka manusianya menjadi pribadi yang terpecah (split personality). Jika proses keilmuan yang berkembang itu tidak berada di bawah kendali agama, maka proses kehancuran pribadi manusia akan terus berjalan. Dengan berlangsungnya proses tersebut. Semua kekuatan yang lebih tinggi untuk mempertinggi derajat kehidupan manusia menjadi hilang, sehingga bukan hanya kehidupan kita yang mengalami kemerosotan tetapi juga kecerdasan dan moral kita.
3. Penyalahgunaan Iptek
Terlepas dari ilmu pengetahuan dan teknologi dari ikatan spiritual kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk tujuan penjajahan satu bangsa atau bangsa lain.
4. Pendangkalan iman
5. Pola hubungan Materialilstik
6. Menghalalkan segala cara
7. Stress dan Frustasi
8. Kehilangan harga Diri dan Masa Depanya
Problem masyarakat modern menurut erich Fromm, karakter masayarakat modern diwarnai oleh orientasi pasar dimana keberhasilan seseorang bergantung pada sejauh mana nilai jualnya di pasar (1999) masayarakat (manusia) modern mengalami dirinya sebagai penjual sekaligus sebagai komoditas untuk dijual di pasar
Maka penghargaan atas dirinya ditentukan oleh nilai jualnya yang tinggi dan dihargai di pasar, Akhirnnya setipa orang didorong berjuang keras menjadi pekerja sukses dan kaya demi penegasan atas keberhasilanya itu. Kemakmuran melambangkan nilai jualnya yang tinggi dan dihargai di pasar. kemiskinan dimaknai sebagai sebaliknya, kebaikan, kejujuran, kesetiaan pada kebenaran dan lkeadailan sipandang tidak bernilai jika tidak memberikan kebenaran manfaat bagi kesksesan dan kemakmuran. Sejauh kondisi ekonominya tidak makmur, dia dinilai belum sukses. Kondisi ini menandakan masayarakat modern mengalami aliensi (keterasingan) mereka menilai manusia tidak lagi berpijak pada kualitas kemanusiaan, melainkan oleh keberhasilanya dalam mencapai kekayaan materil (Fromm,1999)
Keadaan ini memalingkan kesadaran manusia sebagai makhluk termulia. Keutamaan dan kemulianya menyatu desngan kekuatan kepribadianya. Bukan bergantung pada sesuatu diluar dirinya. karena itu, masayaraklat modern memngalami depersonilisasi kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup.
Eksistensinya bergantung pada pemilikan dan penguasaan pada symbol kekayaan, hasrat mendapatkan harta yang berlimpah melampaui komitmenya terhadap solidaritas social. Ini didorong pandangan bahwa orang banyak harta merupakan manusia unggul, ditengah alienasi semacam ini pemikiran hamka dalam beberapa bukunya terutama tasawuf Modern dan Tafsir Al-Azhar, memberikan suatu pencerahan bagi masayarakat modern.
v RELEVANSI TASAWUF PADA MASYARAKT MODERN
Banyak cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi masalah tersebut dan salah satu cara yang hampir disepakati para ahli adalah dengan cara mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan akhlak tasawuf bagi mengatasi masalah tersebut adalah Husein Nashr. Menurutnya, faham sufisme ini mulai mendapat tempat di kalangan masayarakat (termasuk masyarakat barat) karena mereka mulai mencari-cari dimana sufisme yang dapat menjawab sejumlah masalah tersebut.
Sufisme perlu dimasyarakatkan pada kehidupan modern yang sekarang karena terdapat 3 tujuan yang penting yaitu :
· Turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spiritual.
· Memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoterik (kebatinan) Islam, baik terhadap masyarakat islam yang mulai melupakannya maupun non islam, khususnya terhadap masyarakat barat
· Untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoterik Islam, yakni sufisme, yaitu jantung dari ajaran islam sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut , maka keringlah aspek-aspek lain ajaran islam
Relevansi Tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena Tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syari’ah sekaligus. Ia bisa difahami sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan Tasawuf suluky, dan bisa memuaskan dahaga intelektuil melalui pendekatan Tasawuf falsafy. Ia bisa diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan di tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah, yatiu Ka’bah, dan secara rohaniah mereka berlomba lomba menempuh jalan (tarekat) melewati ahwal dan maqam menuju kepada Tuhan yang Satu, Allah SWT. Tasawuf adalah kebudayaan Islam, oleh karena itu budaya setempat juga mewarnai corak Tasawuf sehingga dikenal banyak aliran dan tarekat.Telah disebut di muka bahwa berTasawuf artinya mematikan nafsu dirinya untuk menjadi Diri yang sebenarnya. Jadi dalam kajian Tasawuf, nafs difahami sebagai nafsu, yakni tempat pada diri seseorang dimana sifat-sifat tercela berkumpul, Al Ashlu Al Jami` Li As Sifat Al Mazmumah Min Al Insan. Nafs juga dibahas dalam kajian Psikologi dan juga filsafat. Dalam upaya memelihara agar tidak keluar dari koridor Al-Qur’an maka baik Tasawuf maupun Psikologi (Islam) perlu selalu menggali konsep nafs (dan manusia) menurut Al-Qur’an dan hadis.
Tasawuf dan modernitas pada dasarnya sejak awal perkembangan isalam gerakan tasawuf mendapat sambutan luas di kalangan umat islam. Bahkan penyebaran islam di Idonesa lebih mudah berkat dakwah menggunakan pendekaatan tasawuf. Penekanan pada sisi esoteric agama (hal-hal yang bersifat batiniah dari agama) lebih mengunfdang daya tarik ketimbang eksoteriknya (Formalitas ritual agama)
Salah satunya disebabkan oleh adanya persinggungan antara sisi esoteric dengan pergulatan eksistensi manusia. Kecenderungan aniomisme dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang mengandung keramat dan ruh-ruh leluhur yang bisa menjadi perantara kepada Tuhan) misalnya menyiratkan ketertarikan yang besar terhadap sisi esoteric itu. Factor seperti inilah yang mendorong Hamka meneliti Tasawuf sebagaimana ia jelaskan dalam bukunya : “Tidaklah dapat diragui lagi bahwasana tasawuf adalah salah satu pusaka keagamaan terpenting yang mempengaruhi perasaan dan pikiran kaum muslimin (1981;20)
Luasnya pengaruh tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban islam menandakan tasawuf relevan dengan kebutuhan umat islam. Menurut Hamka tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan meruoakan jantung dari keislaman.
Dalam masyarakat modern fenomena ketertarikan terhadap pengajian bernuansa tasawuf mencerminkan adanya kebutuhan untuk mengatasi problem alenasi yang diakibatkan modernitas. Modernitas memberikan kemudahan mhidup tetapi tidak selalu memberikan kebahagiaan
Intisari ajaran tasawuf sebagaimana paham mistisme dalam agama-agama lain adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadaranya itu berada di kehadirat-Nya. Upaya ini antara lain dilakukan kontemplasi, melepaskan diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara. Sikap dan pandangan sufistik ini sangat diperlukan oleh masyarakat modern yang mengalami jiwa yang terpecah sebagaimana disebutkan, asalkan pandangan terhadap tujuan tasawuf tidak dilakukan secara ekslusif dan individual, melainkan berdaya aplikatif dalam meresponi berbagai masalah yang dihadapi.
Kemampuan berhubungan dengan Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang tampak berserakan karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan. Dengan adanya bantuan tasawuf ini, maka ilmu pengetahuan satu dan lainya tidak akan bertabrakan karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi dengan demikian ia akan terhindar dari melakukan perbuatan perbuatan yang tercela menurut agama
selanjutnya ajaran tawakkal pada Tuhan menyebabkan ia memiliki pegangan yang kokoh, karena ia telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada Tuhan, sikap tawakkal ini akan mengatasi sikap stress yang dialami oleh manusia. Sikap materialistic dan hedonistic yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara itu. Jika sikap ini tidak mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan , sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka caranyapun harus ditempuh dengan cara yang disukai Tuhan.
Demikian pula ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkat oleh tipu daya keduniaan, dapat pula digunakan untuk membekali masyarakat modern agar tidak menjadi sekruft dari mesin kehidupan. Yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa kemana. Tasawuf dengan konsep uzlahnya itu berusaha membebaskan manusia dari perangkap-perangkap kehidupan tapi ia tetap mengendalikan aktivitasnya sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, dan bukan sebaliknya larut dalam pengaruh keduniaan. Terakhir problematika masyarakat modern diatas adalah sejumlah manusia yang kehilangan masa depanya, merasa kesunyian dan kehampaan jiwa di tengah-tengah derunya laju kehidupan.
Abad yang berkembang telah tiba, teknologi yang modern semakin berkembang. Perkembangannya seiring dengan perubahan waktu. Siapa yang tidak bisa mengejar perkembangan berarti ketinggalan zaman. Inilah perkataan yang memancing kita terjerumus terjun ke dalam tawaran kemodernismean.
Modernisme merupakan tanda kemajuan dan moderniame juga merupakan tanda kemunduran suatu bangsa. Perkembangan dalam berbagai bidang, dari bidang ekonomi sampai bidang teknologi. Hal telah banyak membuat kita lupa akan daratan kita –tujuan awal– yang sejak awal kita bangun. Kenyataannya, modernisme makin hari membawa diri kta terselubungi dengan perkembangan teknologi.
Efeknya, penghayatan terhadap Islam mulai digantikan dengan penghayatan duniawi yang serba ingin modern. Prinsip materiaistik memenuhi otak pikiran, yang melepaskan kontrol agama dan kebebasan bertindak demi memenuhi modernisme telah berkuasa untuk mengalahkan terapi sufisme atau tasawuf.
Masyarakat modern semakin mendewakan keberadaan ilmu pengetahuan, maka seakan-akan kita berada pada wilayah pinggiran yang bermadzab ke-barat-an dan bahkan kita hampir-hampir kehilangan visi kailahian. Hal inilah yang membuat kita makin stress dan gersang hati kita dengan dunia, akibat tidak mempunyai pegangan hidup.
Dalam teori kesuksesan yang diterapkan oleh Ary Gynanjar yang mengilustrasikan keberadaan diri kita sudah dan telah memiliki kekuatan atau kemampuan yang berupa IQ, EQ dan SQ. Yang mana, ketika kemampuan itu membentengi manusia dalam hariannya untuk menjadi manusia yang sukses atau manusia yang kamil. Untuk itulah, teori yang diterapkan oleh Ary Gynanjar harus diseimbangkan dalam diri personal. Sebab, akibat yang ditimbulkan dari ketidakseimbangan tersebut akan merubah diri seorang hidup tanpa peganggan yang lari sana dan lari sini, ikut sana dan ikut, tidak punya prinsip yang diandalkan.
Wujud dari kemampuan manusia, umunnya berupa kekuatan ekonomi, teknologi, dan kekuatan ibadiyah. Wajar sekali, kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi penunjang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat harkat dan martabat umat itu sendiri. Hal ini disebabkan maraknya perkembangan dan kebutuhan duniawi yang marak juga. Maka dari itu, keselamatan seseorang ditentukan oleh pribadi masing-masing, di mana ia semakin menjaga martabat Islam, semakin pula dirinya terjaga dari arus besarnya kemodernismean.
Keseimbangan memang dibutuhkan, tapi realita yang terjadi ketika insan bertaqorub ilahirobbi yang mana mereka menjalani hidup penuh dengan nuasa tasawuf tidak disertai yang namanya EQ. Sehinga yang terjadi, mereka hanya bisa dekat dengan Tuhannya tapi tidak dekat dengan lingkungannya yakni masyarakat sekitarnya.
Sebagai muslim yang beritikad shaleh untuk agama, berkeyakinan baik dengan adanya perkembangan zaman, hendaknya menyeimbangi pekembangan tersebut bukan mengikuti bahkan terpengaruh perkembangan zaman. Untuk itu, pertebal kekuatan keilmuan untuk menyeimbangi perkembangan zaman. Perlu kita ingat sejenak dalam surat al-Fajr ayat 27-30 yang artinya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan puas dan diridhoi Allah, masuklah ke dalam golonganku (yang beramal shaleh), dan masuklah ke dalam surgaku”. Ayat ini bisa kita renunggi, tatkala kita terbawa arus modernisme, hendaklah dan segerahlah kembali ke jalan Allah.
Sekularitas Tasawuf menjadi jawaban ini semua, harapan terbesar dengan keberadaan buku ini, menjadikan manusia berpaling sejenak untuk mangapai lagi sifat keilahiannya yang sering kali pudar dengan modernisme. Ajakan dan rayuan semata, telah membutakan sekilas perjuangan yang selama ini kita rintis. Seyogyanya kemampuan mengeksistensikan kembali tasawuf-lah yang bisa menyayat sedikit gemerlap hujatan hitam di dunia modern ini.
Mari kita buka, lembar per lembar simbol-simbol Islam telah dipakai untuk menutupi kekhilafan mereka. Tameng Islam yang suci menjadi korban simbolistik mereka. Memang bentul, Islam sangat demokrasi pada umatnya tapi sudahkah kita adil dalam meninteraksikan konsep kebangsaan dalam keagamaan. Sehingga terciptalah konsep baru yang lebih moderat terhadap lingkungan masyarakkat kita.
Penjelasan yang sama, berintikan pada keseimbangan tercakup dalam teori ESQ tersebut menjadikan interaksi dengan sesama manusia bisa terjalin damai. Sebagaimana tasawuf merupakan bagian dari agama Islam yang mana merupakan jalan menuju pendekatan kepada Allah swt.
Selama ini, tasawuf dipandang sebelah mata oleh sebagian umat Islam sendiri. Mereka beranggapan, seorang yang bertasawuf malah tidak kenal dengan dunia, tidak kenal toleransi, dan lainnya. Sebenarnya, jika diamati secara seksama justru dengan bertasawuf semakin banyak nilai, kesusilaan dan norma yang dilahirkan dari tubuh tasawuf.
Realitanya, yang dikatakan modernisme malah berpaling pada kemunduran. Hal ini disebabkan oleh krisis peradapan modern bersumber dari penolakan terhadap hakikat ruh dan peyingkiran ma’nawiyah secara grandual alam kehidupan manusia. Manusia modern mencoba hidup dengan roti semata, meraka bahkan berupaya “membunuh” Tuhan dan menyatakan kebebasan dari kehidupan akhirat.
Dari sinilah, hanya kita yang tahu mana yang lebih panting dari beberapa kebutuhan kita, kedewasaan semakin bertambah manakalah kita semakin dewasa dengan keberadaan Allah swt.

Tasawuf positif dan dialog kemanusiaan

Untuk memahami makna tasawuf itu, memang diperlukan pengertian yang mendalam: yakni maknanya dalam keseluruhan keberagamaan, dan kaitannya dengan penciptaan kehidupan kemanusiaan yang lebih baik. Inilah yang disebut "tasawuf positif", sebuah
tasawuf yang terbuka kepada kebutuhan-kebutuhan dasar manusia untuk pertumbuhan, keseimbangan dan harmoni. Dengan tasawuf positif ini, terbuka juga kemungkinan dialog dengan berbagai ragam spiritualitas agama-agama, maupun non-agama yang semuanya sebenarnya dewasa ini menghadapi masalah besar bersama yaitu ancaman kemanusiaan!
Macam-macam tasawuf telah berkembang mengatasi krisis global kemanusiaan. Karena itu dialog di antara sesama penganut tasawuf, walaupun dari berbagai agama, bisa menyumbangkan wacana untuk berbagai krisis kemanusiaan. Apa yang disebut Hans Kung dengan "kebutuhan akan Etika global" tampaknya bisa dipenuhi dengan kerja sama agama-agama, dimulai dari pandangan positif terhadap hal yang paling dasar dari agamanya sendiri-the heart of religion, yaitu hakikat tasawuf itu sendiri, yang bisa mempertemukan berbagai agama. Dari sini kita bisa merambah kepada dialog bahkan passing over ke arah agama lain, untuk menggali dan mendapatkan kekayaan perspektif
rohani.
Kalau kita mengamati perkembangan kesadaran mengenai tantangan etika global itu, perkembangan tasawuf (dalam hal ini "tasawuf antar-agama") memang telah melandasi usaha-usaha bersama mencari sebuah alternatif atas pandangan kebudayaan modern yang mekanistik, sekularistik, ke arah cara pandang yang lebih ekologis dan holistik. Di sini tasawuf bertemu dengan spiritualitas agama-agama (Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, mistik Kristen, new age, spiritualitas dari kearifan lokal dan seterusnya), yang bersama-sama diharapkan dapat mendorong massa yang kritis untuk melihat dunia ini secara baru. Inilah yang disebut Marilyn Ferguson sebagai The Aquarian Conspiracy
(konspirasi Aquarius) yang menjadi pertanda dari kebangkitan tasawuf di awal milenium.
Tasawuf memang mempunyai filsafat yang begitu mendalam mengenai spiritualitas dan segi-segi religiusitas keberagamaan, sehingga harapan banyak kalangan mengenai healthy-spirituality memang bisa diperoleh dari tasawuf positif ini, di tengah ancaman "keberagamaan yang sakit" yang muncul karena otoritarianisme dalam beragama-yang dalam tasawuf digambarkan sebagai nafs ammarah bi 'l-su (nafsu yang mendorong kepada keburukan, Q. 12:53).
Tasawuf menjanjikan penyelamatan. Apalagi di tengah berbagai krisis kehidupan yang serba materialis, hedonis, sekular, plus kehidupan yang makin sulit secara ekonomis maupun psikologis itu, tasawuf memberikan obat penawar rohani, yang memberi daya
tahan. Dalam wacana kontemporer, sering dibahas tasawuf sebagai obat mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari kehidupan di dunia ini. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini memang sangat tidak mengenakkan, dan membuat penderitaan batin. Maka mata air tasawuf yang sejuk dan memberikan penyegaran dan
penyelamatan pada manusia-manusia yang terasing itu.
Mewujudkan cita-cita ini, bukanlah hal yang berlebihan. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan inter-disipliner. Beberapa contoh bisa disebut di sini, seperti pertemuan tasawuf dengan fisika, dan sains modern yang holistik, yang membawa kepada kesadaran arti kehadiran manusia dan tugas-tugas utamanya di muka Bumi-segi yang kini disebut The Anthropic Principle; pertemuan tasawuf dengan ekologi yang menyadarkan mengenai pentingnya kesinambungan alam ini dengan keanekaragaman hayatinya, didasarkan pada paham kesucian alam; pertemuan tasawuf dengan penyembuhan alternatif yang memberikan kesadaran bahwa masalah kesehatan bukan hanya bersifat fisikal, tetapi lebih-lebih
ruhani: tasawuf memberikan visi keruhanian untuk kedokteran, pertemuan tasawuf dengan psikologi baru yang menekankan segi transpersonal; dan lain-lain pertemuan interdisipliner yang intinya sama: semua menyumbang kesadaran bahwa arti tasawuf
dewasa ini bukan hanya pada kesalehan formal, tetapi justru terutama etika global! Untuk itu tasawuf memang perlu wujud dalam cara hidup. Cara hidup tasawuf bukan terutama benar dari formalnya, tetapi bagaimana nilai-nilai tasawuf itu menjadi way of life!

Tasawuf tanpa substansi

Melihat perkembangan Islam di Indonesia, belakangan ini memang kelihatan ada pergeseran orientasi keberagamaan dari kesalehan formal kepada kesalehan sufistik. Persis pada titik ini "demam tasawuf" yang sedang melanda masyarakat Islam ini begitu
mengkhawatirkan dan perlu mendapat perhatian. Seperti kita tahu, Islam di Indonesia telah berkembang sedemikian rupa sehingga kini tampak sangat formalis dalam beragama, seolah tidak ada lagi segi religiusitasnya. Bentuk-bentuk kesalehan
formal dan kesalehan individual begitu menonjol. Keberagamaan sangat semarak, rumah ibadah berkembang pesat di mana-mana, jumlah orang naik haji meningkat, tetapi dari segi substansial, sebagai bangsa, keberagamaan rupanya belum mencerminkan nilai-nilai Islam. Apa yang disebut megalitarianisme, keadilan, kesadaran humanitarian, hormat kepada hukum, dan hak-hak asasi manusia, kesadaran lingkungan, kebersihan, penghargaan terhadap orang yang lemah, sikap inklusif dan pluralis, dan seterusnya, yang jelas merupakan nilai-nilai dasar agama, ternyata tidak tercermin dalam kehidupan masyarakat. Padahal kegairahan dalam beragama begitu tinggi, suasana keagamaan begitu mencolok.
Dari situlah kemudian kita sangat mengkhawatirkan demam tasawuf belakangan ini. Kalau demam tasawuf itu hanya kepanjangan saja dari kesalehan, lantas apa maknanya? Antara tasawuf dan bukan tasawuf tidak ada bedanya: sama-sama kesalehan formal yang tidak mencerminkan religiusitas! Demam tasawuf mudah-mudahan tidak hanya merupakan kelanjutan dari kesalehan formal, yang kalau hanya begini, ya ibarat buih dalam lautan: tidak bermakna
apa-apa secara sosial!
Maka kita berharap demam tasawuf ini, tidak merupakan langkah mundur dalam beragama, tetapi merupakan awal dari perkembangan Islam di Indonesia yang diharapkan dapat mewujudkan kehidupan keagamaan yang lebih terbuka, inklusif-pluralis, yang memberi rahmat kepada semua orang. Demam tasawuf semoga merupakan salah satu pertanda dari tumbuhnya kesadaran baru dalam mencari sumbangan agama-agama terhadap tantangan etika global di atas. Namun itu semua tergantung dari kemampuan kita dalam menyajikan tasawuf yang positif, bukan yang eksesif.

Makna Tasawuf dan Problem Eksistensi menurut Buya Hamka

Dalam lintasan sejarah pemikiran Islam di Indonesia, Buya Hamka tercatat sebagai salah seorang pemikir Islam modern yang sangat produktif. Ini ditunjukkan dengan begitu banyak karyanya dalam bidang keislaman.
Yang paling fenomenal dari sejumlah karyanya itu adalah Tafsir Al-Azhar. Kemampuan Hamka sungguh mengagumkan mengingat beliau bukanlah seorang sarjana dengan pendidikan formal yang tinggi. Hamka hanya otodidak.
Beliau merepresentasikan peralihan transmisi (pewarisan ilmu-ilmu keislaman) dari corak tradisional atau meminjam istilah Azyumardi Azra dari isnad dan silsilah (mata rantai pewarisan) tradisional menjadi isnad dan silsilah modern (Azra, 2005). Corak tradisional menunjukkan adanya transmisi melalui pertemuan langsung antara murid dan guru.
Otoritas guru dan sanad yang menyertainya memiliki nilai yang tinggi dalam pewarisan keilmuan. Pada gilirannya cenderung menimbulkan kesamaan mazhab dan aliran teologi pada garis sanad dan silsilah yang ada. Transmisi tradisional meniscayakan mata rantai isnad dan silsilah yang homogen. Pada transmisi modern, pewarisan itu tidak mengharuskan pertemuan murid dan guru. Karena itu, isnad dan silsilah keilmuannya terbentuk dari beberapa sumber berbeda.
Dengan demikian, Buya Hamka adalah salah satu intelektual Islam yang merepresentasikan pola transmisi modern. Dalam pandangan Nurcolish Madjid, kelebihan lainnya adalah kesanggupan Buya menyatakan pikiran dalam ungkapan-ungkapan modern dan kontemporer.
Karena itu, Buya berhasil menjalin komunikasi intelektual dengan kalangan terpelajar tanpa canggung dan hambatan. Pikiran-pikirannya diterima di kalangan luas, khususnya umat Islam Indonesia yang sering diidentifikasi sebagai modernis atau pembaharu (1997: 123-124). Upaya memperingati kelahiran Buya Hamka yang lahir 17 Februari 1908 bukanlah suatu pengkultusan terhadapnya, melainkan upaya untuk melihat dan mengkaji kembali kontribusi dan relevansi pemikirannya dalam kehidupan masyarakat modern.

Problem masyarakat modern terhadap tasawuf

Menurut Erich Fromm, karakter masyarakat modern diwarnai oleh orientasi pasar, di mana keberhasilan seseorang bergantung pada sejauh mana 'nilai jualnya' di pasar (1999). Masyarakat (manusia) modern mengalami dirinya sebagai penjual sekaligus sebagai komoditas untuk dijual di pasar.
Maka, penghargaan atas dirinya ditentukan oleh nilai-nilai yang diakui oleh pasar. Akhirnya, setiap orang didorong berjuang keras menjadi pekerja sukses dan kaya demi penegasan akan keberhasilannya itu.
Kemakmuran melambangkan nilai jualnya yang tinggi dan dihargai di pasar. Kemiskinan dimaknai sebagai sebaliknya. Kebaikan, kejujuran, kesetiaan pada kebenaran dan keadilan dipandang tidak bernilai jika tidak memberikan manfaat bagi kesuksesan dan kemakmuran. Sejauh kondisi ekonominya tidak makmur, dia dinilai belum sukses.
Kondisi ini menandakan masyarakat modern mengalami alienasi (keterasingan). Mereka menilai manusia tidak lagi berpijak pada kualitas kemanusiaan, melainkan oleh keberhasilannya dalam mencapai kekayaan materil (Fromm, 1999).
Keadaan ini memalingkan kesadaran manusia sebagai makhluk termulia. Keutamaan dan kemuliaannya menyatu dengan kekuatan kepribadiannya, bukan bergantung pada sesuatu di luar dirinya. Karena itu, masyarakat modern mengalami depersonalisasi, kehampaan, dan ketidakbermaknaan hidup.
Eksistensinya bergantung pada pemilikan dan penguasaan pada simbol kekayaan. Hasrat mendapatkan harta yang berlimpah melampaui komitmennya terhadap solidaritas sosial. Ini didorong pandangan bahwa orang banyak harta merupakan manusia unggul. Di tengah alienasi semacam ini pemikiran Hamka dalam beberapa bukunya, terutama Tasawuf Modern dan Tafsir Al-Azhar, memberikan suatu pencerahan bagi masyarakat modern.
Tasawuf dan modernitas
Pada dasarnya sejak awal perkembangan Islam, gerakan tasawuf mendapat sambutan luas di kalangan umat Islam. Bahkan penyebaran Islam di Indonesia lebih mudah berkat dakwah menggunakan pendekatan tasawuf. Penekanan pada sisi esoterik agama (hal-hal yang bersifat batiniah dari agama) lebih mengundang daya tarik ketimbang eksoteriknya (formalitas ritual agama).
Salah satunya disebabkan oleh adanya persinggungan antara sisi esoterik dengan pergulatan eksistensi manusia. Kecenderungan animisme dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang mengandung keramat dan ruh-ruh leluhur yang bisa menjadi perantara kepada Tuhan), misalnya, menyiratkan ketertarikan yang besar terhadap sisi esoterik itu. Faktor seperti inilah yang mendorong Hamka meneliti tasawuf, sebagaimana dia jelaskan dalam bukunya: "Tidaklah dapat diragui lagi bahwasanya tasawuf adalah salah satu pusaka keagamaan terpenting yang memengaruhi perasaan dan pikiran kaum Muslimin" (1981: 20).
Luasnya pengaruh tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban Islam menandakan tasawuf relevan dengan kebutuhan umat Islam. Menurut Hamka, tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan merupakan jantung dari keislaman.
Dalam masyarakat modern, fenomena ketertarikan terhadap pengajian bernuansa tasawuf mencerminkan adanya kebutuhan untuk mengatasi problem alienasi yang diakibatkan modernitas. Modernitas memberikan kemudahan hidup, tetapi tidak selalu memberikan kebahagiaan.
 

E-Dakwahnet Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger